Oleh : Ust. Aris munandar.
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz pernah menjabat sebagai ketua Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (komisi fatwa di Saudi Arabia). Meski beliau adalah seorang ulama besar kelas internasional namun di antara sisi-sisi kehidupan beliau juga terdapat guyon dan canda. Seorang ulama tidak harus hanya menjalani hidup dengan keseriusan. Canda yang tepat dan proposional adalah bagaikan garam bagi kehidupan kita.
Artikel: ustadzaris.com
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz pernah menjabat sebagai ketua Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (komisi fatwa di Saudi Arabia). Meski beliau adalah seorang ulama besar kelas internasional namun di antara sisi-sisi kehidupan beliau juga terdapat guyon dan canda. Seorang ulama tidak harus hanya menjalani hidup dengan keseriusan. Canda yang tepat dan proposional adalah bagaikan garam bagi kehidupan kita.
Jika ada
seorang yang berkunjung ke rumah Syaikh Ibnu Baz maka beliau pasti
menawari orang tersebut untuk turut makan malam bersama beliau. Jika
orang tersebut beralasan, “Wahai Syaikh, saya tidak bisa” maka dengan
nama berkelakar Ibnu Baz berkata, “Engkau takut dengan istrimu ya?!
Marilah makan malam bersama kami”.
Ada salah
seorang suami dari cucu Syaikh Ibnu Baz menemui beliau dan berkata,
“Wahai Syaikh, kami ingin agar engkau mengunjungi dan makan di rumah
kami”. Jawaban beliau, “Tidak masalah, jika engkau menikah untuk kedua
kalinya maka kami akan datang ke acara walimah insya Allah”.
Setelah
pulang, orang ini bercerita kepada istrinya tentang apa yang dikatakan
oleh kakeknya. Kontan saja cucu perempuan dari Syaikh Ibnu Baz buru-buru
menelpon kakeknya. “Wahai Syeikh, apa maksudnya?”. Ibnu Baz berkata
kepada cucunya, “Kami hanya guyon dengan dia. Kami tidak mengharuskannya
untuk nikah lagi. Kami akan berkunjung ke rumahmu meski tidak ada acara
pernikahan”.
Ketika
Syaikh Ibnu Baz hendak rekaman untuk acara Nurun ‘ala Darb (acara tanya
jawab di radio Al Qur’an Al Karim di Saudi), biasanya beliau melepas
kain sorbannya dan dengan nada canda beliau berkata, “Siapa yang mau
memikul amanah?”. Jika ada salah seorang yang ada di tempat tersebut
mengatakan, “Saya” maka beliau berkata, “Silahkan ambil”.
Suatu
ketika, ketika Syaikh Ibnu Baz hendak rekaman untuk acara Nurun ‘ala
Darbi ada seorang yang berada di tempat tersebut sedangkan Syaikh ingin
agar dia keluar namun dengan cara baik-baik. Beliau berkata, “Wahai
fulan, kami hendak rekaman untuk dua seri sekaligus dan aku kira hal ini
membutuhkan waktu yang cukup lama”. “Tidak apa-apa, insya Allah. Aku
akan duduk dan mendapat banyak ilmu”, jawab orang tersebut. Ibnu Baz
berkata, “Aku khawatir engkau akan batuk. Bukankah kau tahu bahwa dalam
proses rekaman tidak boleh ada suara batuk ataupun suara lainnya”. Orang
tersebut berkata, “Insya Allah, aku tidak akan batuk”. Syaikh berkata,
“Tidak, batuk yang akan mendatangimu”. Akhirnya orang tersebut faham apa
yang diinginkan oleh Syaikh Ibnu Baz. Orang tersebut lantas keluar
meninggalkan ruangan rekaman.
Disamping
bercanda, beliau juga terkadang menangis. Beberapa kali acara pengajian
berhenti dan putus di tengah jalan dikarenakan beliau menangis.
Ketika
Syeikh Ibnu Qasim membaca kitab Zaad al Ma’ad di hadapan beliau, ketika
sampai pembahasan tuduhan dusta terhadap Aisyah, beliau menangis.
Jadilah pengajian terputus di tengah jalan karena tangisan.
Ketika
dibacakan di hadapan beliau kejadian wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam tepatnya ketika Abu Bakr berkata, “Siapa yang menyembah
Muhammad maka sungguh Muhammad telah meninggal dunia” maka Syeikh Ibnu
Baz menangis keras.
Demikian
pula, beliau menangis ketika di sampaikan kepada beliau berbagai musibah
yang menimpa kaum muslimin, meski ketika beliau sedang makan atau
mengisi pengajian.
Inilah canda
dan tangisan seorang ulama, menangis ketika sikon menuntut demikian.
Sebaliknya, bercanda juga pada kondisi yang tepat.
Terkait dengan canda, Syeikh Ibnu Sa’di mengatakan,
“Canda itu bagaikan garam untuk makanan. Jika terlalu banyak tidak enak, terlalu sedikit juga tidak enak”.
Jangan pula bercanda dengan semua orang. Canda adalah bagian dari dakwah.
Dalam kitab Al Istiqomah, Ibnu Taimiyyah berkata,
“Nabi tidak pernah bercanda dengan para
sahabat senior baik dari kalangan muhajirin ataupun anshar. Beliau hanya
bercanda dengan wanita, orang miskin, anak-anak dan orang-orang lemah
semisal budak yang memang memerlukan perhatian khusus”.Dalam kitab Al Istiqomah, Ibnu Taimiyyah berkata,
Artikel: ustadzaris.com
0 komentar:
Post a Comment