Oleh : Abu Asma Andre
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله.
يَا أَيُّهَا الّذِينَ آمَنُواْ اتّقُواْ اللّهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مّسْلِمُونَ
يَآ أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْراً وَنِسَآءً وَاتَّقُوْا اللَّهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْباً
يَا أَيُّهَا الّذِينَ آمَنُواْ اتّقُواْ اللّهَ وَقُولُواْ قَوْلاً سَدِيداً . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعِ اللّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماًً
أما بعد: فإن أصدق الكلام كلام الله وخير الهدي هدي محمد وشر الأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار.
Pendahuluan :
Membaca surat Al Fatihah didalam shalat merupakan rukun shalat disisi para ulama, barangsiapa yang meninggalkannya dengan sengaja maka shalatnya tidak sah adapun yang meninggalkannya karena terluput/lupa maka menurut pendapat yang terpilih dia dikenai kewajiban untuk sujud sahwi.
Sebagaimana maklum telah terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama tentang makmum yang berimam dalam shalat jahr, apakah dia wajib membaca Al Fatihah atau mencukupkan diri dengan bacaan imam - dan bukanlah disini pembahasannya - yang hendak dibahas dalam makalah ini adalah perbuatan sebagian imam dalam shalat yang berhenti sejenak " dengan sengaja "
untuk memberikan kesempatan kepada makmum membaca Al Fatihah, baik dalam shalat sirr apalagi dalam shalat jahr.
Semoga tulisan ringkas - yang pada hakikatnya mengambil banyak faidah dari sebuah tautan - yang juga saya tambahkan dengan beberapa referensi bisa memberikan penjelasan dalam masalah ini.
Berhentinya Imam Setelah Membaca
ولاالضالين Untuk Memberikan Kesempatan Makmum Membaca Al Fatihah
Telah menyebar dikebanyakan masjid imam - imam masjid yang setelah membaca surat Al Fatihah berhenti sejenak " dengan sengaja " untuk memberikan kesempatan kepada makmum agar dapat membaca Al Fatihah, baik didalam shalat sirr apalagi didalam shalat jahr, dan mereka menganggap baik perbuatan ini, maka tulisan dibawah ini akan memberikan penjelasan dan bantahan sebagai berikut :
Bantahan Pertama :
Bahwasanya perbuatan ini dibangun diatas dasar menganggap baik sebuah amal dengan akal logika, dan akal logika bukanlah merupakan hujjah kecuali disisi Mu'tazilah, maka darimana kita mengetahui bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam dan para shahabat radhiallahu anhum berhenti sejenak dalam keadaan ini ?
Para ulama telah menjelaskan bahwa ibadah : sebab, sifat, cara dan waktunya adalah tauqifiyyah ( menuntut adanya dalil ) bukan berdasarkan akal ataupun perasaan, maka perhatikan ucapan Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu :
لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ
" Seandainya agama (Islam) itu berdasarkan hasil pikiran, niscaya bagian bawah sepatu lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya, dan sungguh saya telah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengusap bagian atas kedua khufnya." ( HR Imam Abu Daud ) (1)
Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma berkata :
كل بدعة ضلالة وإن رءاها حسنة
" Setiap bid'ah adalah sesat walaupun dipandang oleh manusia sebagai perbuatan baik." (2)
Umar bin Khathab radhiallahu anhu berkata :
إياكم وأصحاب الرأي فإنهم أعداء السنن أعيتهم الأحاديث أن يحفظوها ، فقالوا بالرأي فضلوا وأضلو
" Berhati - hatilah kalian dari orang yang mengagungkan akal, karena mereka adalah musuh sunnah, berat bagi mereka menghafal hadits, maka mereka berkata dengan akalnya, mereka sesat dan menyesatkan." (3)
Bantahan Kedua :
Sebagian imam masjid yang mengamalkan " berhenti sejenak " untuk memberikan kesempatan makmum membaca Al Fatihah mungkin beralasan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Abu Daud sebagai berikut :
عَنْ الْحَسَنِ أَنَّ سَمُرَةَ بْنَ جُنْدُبٍ وَعِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ تَذَاكَرَا
فَحَدَّثَ سَمُرَةُ بْنُ جُنْدُبٍ أَنَّهُ حَفِظَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَكْتَتَيْنِ سَكْتَةً إِذَا كَبَّرَ وَسَكْتَةً إِذَا فَرَغَ مِنْ قِرَاءَةِ
{ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ }
فَحَفِظَ ذَلِكَ سَمُرَةُ وَأَنْكَرَ عَلَيْهِ عِمْرَانُ بْنُ حُصَيْنٍ فَكَتَبَا فِي ذَلِكَ إِلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ فَكَانَ فِي كِتَابِهِ إِلَيْهِمَا أَوْ فِي رَدِّهِ عَلَيْهِمَا أَنَّ سَمُرَةَ قَدْ حَفِظَ
Dari Al Hasan bahwa Samurah bin Jundab dan 'Imran bin Hushain saling mengingatkan (sesuatu), maka Samurah bin Jundab menceritakan bahwa dirinya hafal dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dua tempat diam sejenaknya beliau (dalam shalat), pertama setelah takbir dan yang satunya ketika selesai dari membaca غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ, Samurah hafal yang demikian itu, namun Imran bin Hushain mengingkarinya, lantas keduanya menulis surat kepada Ubay bin Ka'b, maka Ubay membalas suratnya atau balasan dari surat mereka berdua bahwa Samurah memang telah hafal (dari Nabi)."
Berhujjah dengan hadits ini adalah perkara yang patut diperhatikan dikarenakan hadits ini diriwayatkan dengan jalur sanad dari Al Hassan dari Samurah bin Jundab radhiallahu anhu, sedangkan Al Hassan adalah seorang mudalis sebagaimana dikatakan oleh para ahli hadits, Syaikh Al Albani rahimahullah berkata :
أن الحسن البصري مع جلالة قدره كان يدلس
" Bahwa Al Hassan Al Bashri bersamaan dengan kemuliaan dan kedudukannya beliau adalah seorang mudalis."
Pada kesempatan yang sama Syaikh Al Albani rahimahullah berkata : الحسن مختلف في سماعه من سمرة وقد سمع منه حديثا واحدا وهو حديث العقيقة
" Al Hasan diperselisihkan tentang mendengar dari Samurah ( bin Jundab - pent ) dan dia hanya mendengar satu hadits dari Samurah, yaitu hadits aqiqah. " ( Lihat Irwa'ul Ghalil no 505 )
Perkataan Syaikh Al Albani rahimahullah ini didahului oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah dengan mengatakan : أما رواية الحسن عن سمرة بن جندب ففى " صحيح البخارى " سماعا منه لحديث العقيقة
" Riwayat Al Hasan dari Samurah bin Jundab yang ada pada Shahih Bukhari yang dia dengar darinya ada pada hadits aqiqah." ( Tahdzibut Tahdzib 2/266 )
Dhahir perkataan dari Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah bahwa Al Hassan tidak mendengar secara sima' dari Samurah bin Jundab radhiallahu anhu kecuali hadits aqiqah, akan tetapi Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan apa yang dimaksudkan dalam ucapannya dengan berkata :
وفي سماع الحسن من سمرة اختلاف وفي الجملة هو حديث صالح للحجة
" Mendengarnya Al Hassan dari Samurah diperselisihkan akan tetapi secara keseluruhan haditsnya baik dan merupakan hujjah. " ( Fathul Bari 5/57 )
Ketika menjelaskan apakah Al Hassan Al Bashri rahimahullah mendengar dari Samurah bin Jundab radhiallahu anhu, Al Hafidz Az Zala'i rahimahullah berkata :
وفي سماع الحسن من سمرة ثلاثة مذاهب : أحدها : أنه سمع منه مطلقا ، وهو ابن المديني ، ذكره عنه البخاري في " أول تاريخه الوسط " فقال : حدثنا الحميدي ثنا سفيان عن إسرائيل ، قال : سمعت الحسن يقول : ولدت لسنتين بقيتامن خلافة عمر ، قال علي : سماع الحسن من سمرة صحيح ، انتهى
ونقله الترمذي في " كتابه " فقال في " باب الصلاة الوسطى " : قال محمد بن إسماعيل " يعني البخاري " : قال علي " يعني ابن المديني " : سماع الحسن من سمرة صحيح انتهى
Dan mendengarnya Al Hassan dari Samurah ada tiga madzhab didalamnya :
Yang pertama : bahwa Al Hassan mendengar dari Samurah secara mutlak, inilah pendapat Ibnul Madini, sebagaimana dibawakan oleh Al Bukhari di awal kitab tarikhnya dia berkata : " Telah menceritakan kepada kami Al Humaidi, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Israil berkata : Aku mendengar Al Hassan berkata : " Aku dilahirkan dua tahun tersisa dari kekhalifahan Umar. Berkata Ali ( ibnul Madini - pent ) : " Sima-nya Al Hassan dari Samurah shahih." Dinukil dari At Tirmidzi dalam kitabnya dalam Bab Shalat Wustha : berkata Muhammad bin Ismail - yakni Al Bukhari : " Berkata Ali ibnul Madini : " Mendengarnya Al Hassan dari Samurah shahih."
Al Hafidz Al Zala'i rahimahullah melanjutkan :
القول الثاني : أنه لم يسمع منه شيئا ، واختاره ابن حبان في " صحيحه " فقال في النوع الرابع من القسم الخامس ، بعد أن روى حديث الحسن عن سمرة : إن النبي صلى الله عليه وسلم كانت له سكتتان ، والحسن لم يسمع من سمرة شيئا انتهى
وقال صاحب " التنقيح " : قال ابن معين : الحسن لم يلق سمرة ، وقال شعبة : الحسن لم يسمع من سمرة
Perkataan kedua : bahwa tidaklah Al Hassan mendengar dari Samurah sedikitpun, dan inilah yang dipilih oleh Ibnu Hibban dalam shahihnya, ketika menjelaskan cabang ke-4 dari pembagian ke-5, setelah meriwayatkan hadits Al Hassan dari Samurah bahwasanya Nabi shalallahu alaihi wa sallam diam dalam dua tempat. Al Hassan tidak mendengar dari Samurah sedikitpun."
Berkata penulis kitab " Al Tanqiih " : berkata Ibnu Ma'in " Al Hassan tidak berjumpa Samurah, berkata Syu'bah : " Al Hassan tidak mendengar dari Samurah."
Al Hafidz Al Zala'i rahimahullah melanjutkan :
القول الثالث : أنه سمع منه حديث العقيقة فقط ، قاله النسائي ، وإليه مال الدارقطني في " سننه " فقال في حديث السكتتين : والحسن اختلف في سماعه من سمرة ، ولم يسمع منه إلا حديث العقيقة
Perkataan ketiga : bahwa Al Hassan mendengar dari Samurah hanya hadits aqiqah saja, inilah ucapan An Nasa'i dan diatasnya Ad Daraquthni berada, dia ( Ad Daraquthni - pent ) berkata didalam sunannya setelah menyebutkan hadits dua diamnya ( hadits yang sedang dibahas - pent ) : Al Hassan diperselisihkan didalam mendengarnya dari Samurah, dan tidaklah dia mendengar dari Samurah melainkan hadits aqiqah." ( Nashbur Raayah 1/89-90 )
Dalam masalah ini maka hadits yang sedang dibahas adalah hadits " diam pada dua keadaan " bukan hadits aqiqah, sehingga status hadits yang menjadi pokok bahasan ini diperselisihkan apakah Al Hassan mendengar langsung dari Samurah bin Jundab radhiallahu anhu ataukah tidak, sebagian ulama semisal Syaikh Al Albani rahimahullah mendhaifkan hadits tersebut didalam Misykatul Mashabih no 818, dan sebelumnya Al Jashaas dalam Ahkamul Qur-an (3/50) juga mendhaifkannya sebagaimana dibawakan keterangannya oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Irwa'ul Ghalil no 505.
Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah berkata :
ليس هناك دليل صريح صحيح يدل على شرعية سكوت الإمام حتى يقرأ المأموم الفاتحة في الصلاة الجهرية
" Tidak ada dalil yang jelas dan shahih yang menunjukkan disyariatkan diamnya imam hingga makmum bisa membaca Al Fatihah didalam shalat jahriyyah." ( Majmu Fatawa Syaikh Ibn Baaz 11/235 )
Bantahan Ketiga :
Diangankan bahwa hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Abu Daud diatas adalah hadits yang diterima sebagai hujjah, lalu permasalahan selanjutnya bagaimanakah cara memahaminya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
ولا يستحب للإمام السكوت ليقرأ المأموم عند جماهير العلماء، وهذا مذهب أبي حنيفة ومالك وأحمد بن حنبل وغيرهم. وحجتهم في ذلك أن النبي صلى الله عليه وسلم لم يكن يسكت ليقرأ المأمومون, ولا نقل هذا أحد عنه, بل ثبت عنه في الصحيح سكوته بعد التكبير للاستفتاح, وفي السنن: ( أنه كان له سكتتان سكتة. في أول القراءة، وسكتة بعد الفراغ من القراءة ). وهي سكتة لطيفة للفصل لا تتسع لقراءة الفاتحة
" Tidak disukai bagi imam untuk diam memberikan kesempatan kepada makmum untuk membaca ( Al Fatihah - pent ) disisi jumhur ulama, dan ini adalah madzhab Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bin Hambal dan selain mereka. Diantara hujjah mereka adalah bahwasanya Nabi shalallahu alaihi wa sallam tidaklah diam untuk memberikan kesempatan kepada makmum agar membaca Al Fatihah, dan tidak dinukil perkara ini dari salah seorang diantara mereka ( shahabat radhiallahu anhum - pent ), bahkan telah tetap dari beliau shalallahu alaihi wa salam didalam shahih beliau diam setelah takbiratul ( ihram - pent ) untuk membaca istiftaah dan didalam sunnan ( Abu Daud - pent ) : " Bahwa beliau diam dalam dua kali kesempatan - diawal membaca ( Al Fatihah - pent ) dan setelah selesai membaca." Diam ini adalah diam yang ringan untuk memisahkan antara perbuatan bukan untuk memberikan kesempatan membaca Al Fatihah." ( Majmu Fatawa 3/362 )
Dalam kesempatan yang lain Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
ولم ينقل أحد من الصحابة أنهم كانوا في السكتة الثانية يقرؤون الفاتحة مع أن ذلك لو كان شرعا لكان الصحابة أحق الناس بعلمه فعلم أنه بدعة
" Tidak dinukil dari seorangpun shahabat bahwa mereka ketika diam dikesempatan yang kedua membaca Al Fatihah, bersamaan dengan itu andaikata hal tersebut disyariatkan niscaya shahabat adalah manusia yang paling mengetahui ilmunya, maka bisa diketahui perkara tersebut adalah bid'ah." ( Majmu Fatawa 2/147 )
Penutup :
Sebagai kesimpulan akhir, saya katakan ( dengan mengikuti pendapat yang dikuatkan oleh banyak ulama ) bahwa diamnya imam dengan tujuan memberikan kesempatan kepada makmum agar dapat membaca Al Fatihah adalah perkara yang tidak disyariatkan. Dan sebagaimana yang telah maklum didalam masalah ini ada hal - hal yang terkait semisal apakah makmum disyariatkan membaca Al Fatihah didalam shalat jahriyah ataukah tidak, dan bukan disinilah tempat pembahasannya.
Sebagaimana yang telah dimaklumi perkara fiqih adalah perkara yang tidak sepi dari ijtihad dan perbedaan pendapat, dan setiap perbedaan yang bersifat ilmiyyah ijtihadiyyah merupakan medan bagi penuntut ilmu dan para ulama untuk berpendapat dan menerima pendapat, maka nasihat dan masukan dari ikhwan dan akhwat yang membangun dan penuh hikmah adalah pemberian berharga yang patut untuk diterima.
Abu Asma Andre
Ciangsana - Cileungsi
1 Dzulqadah 1433 H
سبحانك اللهم وبحمدك اشهد أن لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
Catatan Kaki :
1. Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud no 164 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Irwa'ul Ghalil no 103 dan Misykatul Mashabih no 525.
2. Diriwayatkan oleh Imam Al Lalikai 1/92 no 126 dan Imam Ibnu Batthah dalam Al Ibanah 1/339 no 205.
3. Diriwayatkan oleh Imam Ad Daraquthni dalam Sunan 4/146, Imam Al Baihaqi dalam Al Madkhal no 213 dan Imam Al Lalikai no 201.
Sumber : Catatan Ust. Abu Asma Andre
0 komentar:
Post a Comment