Saturday, 11 February 2012

JUJUR.

Oleh : Muhammad Supriadi al Jawiy al Indunisiy.

            Allah memerintahkan pada setiap muslim untuk selalu berkata jujur, dengan firmannya yang berbunyi.
"Hai sekalian orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah engkau semua bersama-sama dengan orang-orang yang benar."
[at-Taubah: 119]

Pada ayat diatas menjelaskan tentang  perintah untuk selalu bersama orang yang benar dan selalu berkata benar/jujur. Jujur itu ada dua, antara lain :
  1. Jujur kepada Allah yaitu jujur untuk selalu melakukan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya.
  2. Jujur Kepada sesama makhluk yaitu jujur dalam pergaulan sehari hari dan bergaul dengan akhlak yang baik.

Dan lawan dari kata jujur adalah dusta, dimana berdusta adalah termasuk salah satu diantara sifat sifat orang munafik. Jika seseorang selalu berusaha untuk berkata jujur maka berarti dia telah berusaha pula untuk menjauhkan sifat-sifat kemunafikan pada dirinya dan juga dia berusaha menjauhi neraka yang disediakan bagi orang-orang yg munafik terhadapnya.

Dari Abu Muhammad, yaitu Alhasan bin Ali bin Abu Thalib radhiallahu 'anhuma, katanya: "Saya menghafal sabda dari Rasulullah s.a.w. yaitu: "Tinggalkan apa-apa yang meragukan hatimu dan berpindahlah kepada apa-apa yang tidak meragukan hatimu. yakni yang hatimu tenang jikalau melakukannya. Maka sesungguhnya bersikap benar/jujur itu menimbulkan ketenangan dan berdusta itu menimbulkan keragu-raguan."
[HR. Tirmidzi, dan ia berkata,”hadits shahih”]

            Pada Hadits diatas  dapat diambil pelajaran yaitu tentang diperintahkannya untuk meninggalkan segala sesuatu yang menimbulkan keraguan / syubhat pada hati. Maka dari itu hendaknya seseorang mempunyai sikap waro’ (kehati-hatian) agar terhindar dari segala syubhat dan perkara yang diharamkan serta berbagai macam fitnah. Serta segera kembali kepada segala sesuatu yang membuat hatinya yakin, karena keyakinan akan mengalahkan keragu-raguan.
            Sebagaimana dalam kaidah fikih, “al yaqin la yuzalu bisy-syak” yang artinya keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keragu-raguan. Maksudnya adalah sesuatu yang diyakini ketetapannya, maka ia tidak akan hilang kecuali dengan berdasarkan pada dalil yang qath”i. Ia juga tidak akan hilang hanya dengan ragu. Demikian juga hal yang sudah diyakini ketidaktetapannya, maka ia tidak dapat ditetapkan hukumnya hanya dengan sekedar ragu, karena ragu lebih lemah dari yakin.
            Dusta akan menimbulkan keragu-raguan, kegoncangan, atau kebimbangan pada diri seseorang yang melakukannya. Dan pasti dia tidak akan pernah merasa tentram dalam hati dan jiwanya. Begitu juga kebalikannya, yaitu jujur akan menimbulkan ketenangan dalam hati dan jiwa seseorang yang melakukan hal tersebut. Dan yang didapatkan adalah keyakinan yang pasti dan bukan keragu-raguan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah jujur ini juga bersabda,

Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ;alaihi wa sallam, bersabda: "Sesungguhnya kebenaran itu menunjukkan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan itu menunjukkan ke syurga dan sesungguhnya seorang itu niscaya melakukan kebenaran sehingga dicatatlah di sisi Allah sebagai seorang yang ahli melakukan kebenaran. Dan sesungguhnya berdusta itu menunjukkan kepada kecurangan dan sesungguhnya kecurangan itu menunjukkan kepada neraka dan sesungguhnya seorang itu niscaya berdusta sehingga dicatatlah di sisi Allah sebagai seorang yang ahli berdusta."
[Muttafaq 'alaih]

            Kata “Shidqun” artinya adalah benar, maksudnya tidak hanya benar dalam pembicaraannya saja, tetapi juga benar dalam amal perbuatannya. Jadi benar dalam kedua hal itulah yang menurut sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat menunjukkan ke jalan kebajikan dan kebajikan ini yang menunjukkan ke jalan menuju syurga. Secara ringkasnya, seorang itu baru dapat dikatakan benar, manakala ucapannya sesuai dengan amal perbuatan yang dilakukan, atau dengan kata lain ialah manakala amal perbuatannya itu masih bertentangan dengan ucapannya, tetaplah ia dianggap sebagai manusia yang berdusta atau kadzib. Misalnya seorang yang mengaku beragama Islam, tetapi shalat tidak dilakukan, puasa tidak dikerjakan, bahkan mengucapkan dua kalimat syahadat saja tidak dapat, maka dapatkah orang semacam itu dikatakan benar ucapannya? Tentu tidak dapat. Ia tetap berdusta yang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam disabdakan bahwa kedustaan itu menunjukkan ke jalan kecurangan dan kecurangan itu menunjukkan ke jalan menuju neraka.

Dari Abu Sufyan bin Shakhr bin Harb radhiyallahu ‘anhu dalam Hadisnya yang panjang mengenai cerita Raja Heraklius. Heraklius berkata: "Maka apakah yang diperintah olehnya (Yang dimaksud ialah oleh Nabi) ?" Abu Sufyan berkata: "Rasulullah memerintahkan: "Sembahlah Allah yang Maha Esa, jangan menyekutukan sesuatu denganNya dan tinggalkanlah apa-apa yang dikatakan oleh nenek-moyangmu semua." Ia juga menyuruh supaya kita semua melakukan shalat, bersikap benar/jujur, menahan diri (dari keharaman), serta mempererat kekeluargaan."
[Muttafaq 'alaih]

            Pada hadits diatas menunjukkan perintah yaitu pertama, untuk selalu mentauhidkan Allah dan tidak menyekutukannya. Karena diantara misi diutusnya seorang Rasul yaitu untuk menegakkan kalimat tauhid, sebagaimana firman Allah berikut ini.
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).
[QS. An Nahl 16 : 36]
               Pelajaran kedua adalah perintah untuk mendirikan shalat bagi kaum muslimin. Karena shlat adalah pembeda antara seorang muslim dan seorang yg kafir. Tidak ada amalan yang jika seorang muslim itu meninggalkannya akan menyebabkan kekafiran kecuali shalat. Maka dari itu kita diperintahkan untuk memelihara shalat sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
“Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk”
[QS. Al Baqarah 2 : 43]

            Dan perintah yang ketiga adalah untuk selalu jujur, yaitu jujur dalam berkata dan jujur dalam berbuat sesuatu. Juga sebagaimana yang telah kami jelaskan diatas. Yang Keempat yaitu, kita diperintahkan untuk selalu menjaga atau menahan kepada sesuatu yang diharamkan dan juga menahan dari berbagai nafsu syahwat yang ada pada diri kita. Dan yang kelima adalah perintah untuk selalu menyambung tali persaudaraan dan kekerabatan kepada saudara kita. Bahkan Rasulullah bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan kekeluargaan.”
[HR. Muslim]

            Itulah tadi beberapa catatan dari saya tentang jujur, maka saya cukupkan sampai disini. Kurang lebihnya mohon maaf. Wallahu a’lam bish showwab.




Surabaya, 18 Rabi’ul Awal 1433 H.. Pukul 06.25 WIB
Tukang bangunan, cari ilmu, dunia akherat.
[_[ MAKTABAH MUDAKU ]_]

Sumber :
Secuil ilmu yang saya miliki. Setitik ilmu yang saya pelajari. Lalu kutuangkan kedalam tulisan dengan goresan pena ini.

Related Posts:

  • TAZKIATUN NUFUS : NIAT             Niat yang sempurna adalah terdorongnya hati untuk mengerjakan sesuatu ibadah hanya… Read More
  • TAZKIATUN NUFUS : KEUTAMAAN MENUNTUT ILMU. Oleh : Muhammad Supriadi al Jawiy al Indunisiy             Menuntut ilmu adalah hal yang s… Read More
  • Hati Yang Sehat Oleh : Muhammad Supriadi al Jawiy al Indunisiy Karena ada hati yang disifati hidup dan sebaliknya maka keadaan hati dapat dikelompokkan menjadi … Read More
  • Hati Yang Sakit Oleh : Muhammad Supriadi al Jawiy al Indunisiy Tipe hati yang ketiga adalah hati yang hidup tetapi cacat. Ia memiliki dua materi yang saling tari… Read More
  • Hati Yang Mati Oleh : Muhammad Supriadi al Jawiy al Indunisy Tipe hati yang kedua yaitu hati yang mati, yang tidak ada kehidupan di dalamnya. Ia tidak mengetahui… Read More

0 komentar:

Post a Comment