Sunday, 22 January 2012

MEMPERTUHANKAN ULAMA’ DAN UMARA’ (pemimpin)


Oleh : Muhammad Supriadi al jawiy al Indunisiy

            Pada artikel kali ini kami akan mengulas tentang masalah mempertuhankan ulama’ dan pemimpin, bagaimana bentuknya ?? bagaimana hukumnya ?? dan lain sebagainya, maka simaklah sedikit penjelasan dari kami ini. Allah berfirman,

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah……………….”.
[QS At Taubah 9 : 31]


            Pada ayat diatas terdapat kalimat mereka menuhankan para orang-orang alim, bagaimana bentuk menyembah atau menuhankan para ulama’ dan umara’?? maka disini yang dimaksud dengan menuhankan atau menyembah mereka para ulama dan pemimpin adalah sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Adiy bin Hatim ketika ia berkata,”sesungguhnya kami tidak mempertuhankan mereka (ulama’ dan umara’)”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Tidakkah mereka (ulama’ dan umara’) itu mengharamkan apa yg telah dihalalkan Allah, lalu kamu pun mengharamkannya. Dan tidakkah mereka itu menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah lalu kamu pun menghalalkannya ??”. ‘Adiy bin hatim menjawab,”ya”. Maka Nabi shallallahu ;alaihi wa sallam menjawab,”itulah beribadah (menyembah) mereka”.
[HR. Ahmad dan Tirmidzi, Ia berkata hadits hasan]

            Jadi yang dimaksud dengan menyembah para ulama’ dan umara’ itu tidak selalu berarti menyembah (sujud dan berdoa) kepada mereka, tetapi bisa juga berarti dengan mengikuti ulama’ dan umara’ secara membabi buta atau taqlid buta dan meninggalkan syariat-syariat yang telah ditentukan Allah subhanahu wa ta’ala atau juga dengan kata lain yaitu taat dalam hal kemaksiatan. Contohnya adalah dengan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah. Padahal Nabi dan para ulama’ telah berpendapat bahwa tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan sebagaimana hadits dan atsar berikut ini.

Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma dari Nabi s.a.w., sabdanya: “Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dengan patuh serta mentaati, baik dalam hal yang ia senangi dan yang ia benci, melainkan jikalau ia diperintah untuk sesuatu kemaksiatan. Maka apabila ia diperintah -oleh penguasa pemerintahan- dengan sesuatu kemaksiatan, tidak bolehlah ia mendengarkan perintahnya itu dan tidak boleh pula mentaatinya.”
[Muttafaq 'alaih]

Abu Bakar Ash Shiddiq pernah berkata,”Taatlah kepadaku bila aku taat kepada Allah, bila aku melakukan kema’siatan maka kamu tidak boleh taat kepadaku”.

Maka jika ada kemaksiatan yang dilakukan oleh ulama’ atau umara’ kita diwajibkan untuk mengingkarinya. Dan kita pun tidak dikatakan beriman sebelum menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hakim atau pemutus suatu perkara dalam agama. Sebagaimana firman Allah berikut ini.

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
[QS. An Nisa’ 4 : 65]

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”.
[QS. An Nisa’ 4 : 59]
                 Pada surat an Nisa’ ayat 59 tersebut kita diperintahkan untuk taat kepada Allah yaitu menaati semua yang diperintahkan Allah dan menjauhi semua larangan-Nya, taat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah karena beliau telah mendapat wahyu dari Allah dan beliau juga ma’shum (terbebas dari kesalahan), sedangkan taat kepada ulil amri (pemimpin) adalah jika mereka itu taat kepada Allah dan Rasul-Nya sebagaimana penjelasan diatas. Begitu juga dengan ulama’, jika mereka memerintahkan bermaksiat kepada Allah maka tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan.

                  Maka dapat kita simpulkan juga bahwa kita tidak boleh mendahulukan perkataan orang lain / ulama’/ umara’ sebelum mendahulukan firman Allah subhanahu wa ta’ala dan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, jadi yang dibuat tolak ukur menyalahkan orang dan membenarkan orang adalah dengan al Qur’an dan Sunnah (hadits) bukan perkataan si fulan dan si fulani. seperti firman Allah.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".
[QS al Hujurat 49 : 1]

Dan para sahabat sangat keras dalam menyikapi hal ini yaitu mendahulukan perkataan orang lain sebelum firman Allah subhanahu wa ta’ala dan sabda Rasul-Nya.

Ibnu Abbas berkata,”Aku khawatir bila kalian ditimpa hujan batu dari langit . Aku berkata, “Telah bersabda Rasulullah”, tetapi kalian malah mengatakan,"Kata Abu Bakar dan 'Umar ? ".
                  Maka mulai dari saat ini mulailah kita ini meluruskan agama hanya dengan dua pusaka yang ditinggalkan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yaitu Al Qur’an dan As Sunnah, dan pada artikel kali ini bukan berarti kami tidak membolehkan untuk mengambil perkataan para ulama’ atau menaati pemerintah, tentu saja boleh tapi dengan syarat tidak bertentangan dengan al Qur’an dan hadits yang shahih. Karena jika kita mengikuti ulama’ dan umara’ yang menyelisihi syariat maka nanti diakherat kita sendiri yang akan merugi dan akan saling tunjuk, sebagaimana ayat,

“Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, andai kata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul". Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).”
[QS. Al Ahzab 33 : 66-67]

Maka sudah tiada berguna lagi penyesalan nanti diakherat, dan sudah seharusnya kita untuk mulai berbenah memperbaiki agama kita dengan menjalankan Islam dengan Al Qur’an was Sunnah ‘ala fahmis salaf.. Wallahu a’lam bish showab.




Surabaya, 18 Januari 2012.. Pukul 21.31
Tukang bangunan, cari ilmu, dunia akherat.

Sumber : Secuil ilmu yang saya miliki. Setitik  ilmu yang saya pelajari. Lalu kutuangkan
kedalam tulisan dengan goresan pena ini.

Related Posts:

0 komentar:

Post a Comment